DISPARITAS DALAM PENJATUHAN PIDANA
Abstrak
Rumusan norma yang berkaitan dengan
ancaman pidana pada dasarnya bersifat maksimum. Hal tersebut menimbulkan ruang
disparitas putusan hakim. Disapritas tersebut dapat menimbulkan rasa
ketidakadilan (keadilan substantif) bagi terpidana. Rumusan masalahnya adalah,
apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam penjatuhan
pidana yang dilakukan oleh hakim dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan
hakim dalam memutus perakara pidana didalam persidangan?. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode normatif dan empiris dalam kaitannya dengan keadilan
substantif. Hasil penelitian menunjukan dalam memutuskan perkara hakim tunduk
pada Pasal 197 KUHAP, yaitu hakim harus memiliki pertimbangannya sendiri
didalam menentukan berat atau ringannya hukuman yang akan dijatuhkan kepada
terdakwa, melalui pembuktian materil dipersidangan untuk mendukung kesimpulan dalam
pertimbangan hakim. Saat ini peradilan di Indonesia masih menggunakan metode
penjatuhan hukuman berdasarkan pemeriksaan persidangan saja. Hal ini
menyebabkan putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh hakim terdapat perbedaan
antara satu putusan dengan putusan yang lainnya yang disebut dengan disparitas
pidana.
Sistem peradilan
pidana (criminal justice sysem) dari hukum pidana memiliki posisi sentral.
Hal ini disebabkan karena keputusan
dalam pemindannan mempunyai menyangkut langsung kepada pelaku tindak pidana
maupun masyarakat secara luas,dalam peranannya sebagai penegak hukum pidana
secara fungsional system peradilan
pidana akan melibatkan minimal 3
(tiga) faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat
atau penegak hukum, dan faktor kesadaran hukum Faktor perundang-undangan dalam hal
ini
perundang-undangan pidana, meliputi
hukum pidana materil (hukum pidana substantif) maupun hukum pidana formil
(hukum acara pidana). Ada dua aspek penting dalam keberhasilan penegakkan hukum
pidana, yaitu isi atau hasil penegakan hukum (substantif justice) dan tata cara penegakkan hukum (procedural justice)
Indonesia
adalah negara hukum yang memberikan kebebasan pada hakim dalam
memutuskan suatu perkara pidana,
maksudnya adalah hakim tidak boleh
mendapat intervensi dari pihak manapun. Hakim sebagai pejabat peradilan negara
yang berwenang untuk menerima, memeriksa,
dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya.Pada hakikatnya tugas hakim untuk
mengadili mengandung dua pengertian, yakni menegakkan keadilan dan menegakkan
hukum. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat menyebutkan
bahwa hakim juga dapat wajib mempertimbangkan sifat baik dan jahat pada diri
terdakwa selama persidangan.
Peraturan
perundang-undangan pidana yang selama ini dibuat tidak memberikan pedoman
pemberian pidana secara tegas yang menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan
pidana kepada terdakwa. Undang-undang yang ada hanya dijadikan sebagai pedoman
pemberian hukuman maksimal dan minimalnya saja. Oleh karena itu, pedoman
pemberian pidana seharusnya secara tegas dicantumkan dalam Undang-undang, untuk
menghindari kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh hakim dalam menjatuhkan
putusannya. Hal inilah yang sering kali menimbulkan disparitas dalam penjatuhan
pidana yang dilakukan oleh hakim.
Disparitas
pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang
sama (same offence) atau terhadap
tindak-tindak pidana yang sifatnya berbahaya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousnees) tanpa dasar pembenaran yang jelas. Selanjutnya tanpa merujuk “legal category”, disparitas pidana dapat terjadi pada penghukuman terhadap mereka yang
melakukan suatu delik secara bersama.
terkandung perimbangan konstitusional antara kebebasan
individu dan hak Negara untuk memidana.
Adanya
faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya disparitas pidana, tetapi pada
akhirnya hakimlah yang akan menentukan terjadinya suatu disparitas pidana.
Masalah disparitas pidana ini akan terus terjadi karena adanya jarak antara
sanksi pidana minimal dengan sanksi pidana maksimal. Proses formulasi yang
dilakukan oleh badan legislatif selaku pembentuk Undang-undang juga sangat
berpengaruh pada disparitas pidana, dikarenakan tidak adanya standard untuk
merumuskan sanksi pidana.
Dalam Pasal
1 ayat (11) KUHAP disebutkan bahwa putusan pengadilan adalah penryataan hakim
yang diucapkan dalam sidang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
dari atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta cara yang diatur
didalam Undang-Undang ini. Namun masih banyak sekali putusan yang diberikan
oleh hakim kepada terpidana yang belum mencapai keadilan di dalam masyarkat,
karena masih banyak dijumpai ketidak sesuaian hakim dalam menjatuhkan pidana.
Harkristuti
Harkrisnowo mengatakan bahwa Terjadinya
disparitas pidana dalam penegakkan hukum karena adanya realita disparitas
pidana tersebut, tidak heran jika
Public mempertanyakan
apakah hakim/pengadilan telah benar-benar melaksanakan tugasnya menegakkan
hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi disparitas pidana
dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya
secara yuridis formal,kondisi ini
tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun demikian, seringkali orang
melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang
diberikan oleh hakim.
Selanjutnya
Harkristuti Harkrisnowo, menyatakan bahwa disparitas pidana dapat
terjadi dalam beberapa kategori
yaitu :
a. Disparitas antara
tindak pidana yang sama;
b. Disparitas antara
tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama;
c. Disparitas pidana yang dijatuhkan
oleh satu majelis hakim;
d. Disparitas antara pidana yang
dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.
Berdasarkan pendapat diatas dapat
dipahami bahwa salah satu pembenaran disparitas pidana telah membawa hukum kita
kepada keadaan yang tidak lagi sesuai dengan tujuan penegakkan hukum. Hukum
yang semula dimaksudkan untuk menjadi penjaga keadilan, kemanfaatan sosial, dan
kepastian hukum tidak lagi dapat dipenuhi secara utuh, karena dalam hal ini
unsur keadilanlah yang oleh masyarakat dirasia tidak lagi dipenuhi atau
diberikan oleh hakim dalam menegakkan hukum(Komisi Yudisial RI, 2014).
Dalam penyelenggaraannya pengadilan
harus menggunakan ukuran yang sudah diterima oleh dunia hukum, yakni asas legalitas. Asas legalitas menjamin masyarakat terutama terdakwa atau
terpidana guna menghindari kesewenang-wenangan hakim dalam menetapkan perbuatan
yang dapat dikatergorikan dalam suatu rumusan delik.
Adanya disparitas pidana dalam suatu
sitem peradilan pidana akan menyebakan kepercayaan masyarkat pada lembaga
peradilan semakin melemah dan akan
menimbulkan stigma terhadap
keberlangsungan hukum di Indonesia, karena itu diperlukan penelitian hukum
untuk membahas lebih lanjut hal-hal yang menjadi faktor penyebab disparitas
pidana didalam penjatuhan pidana.
A.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalahnya yaitu
“Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam penjatuhan
pidana yang dilakukan oleh hakim dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan
hakim dalam memutus perakara pidana didalam persidangan?”
B.
Metode Penelitian
Sistem penulisan
pada jurnal ini
menggunakan
pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun jenis dan sumber data
yang terdiri dari data primer yang bersumber dari lapangan dan data sekunder
bersumber dari kepustakaan. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis
secara kulaitatif yang pokok bahsan akhirnya menuju pada suatu kesimpulan ditarik
dengan metode induktif.
C.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Pemidanaan diartikan sebagai tahap
penetapan
sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada
umumnya diartikan sebagai hukuman, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai
penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil.
J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut :
Hukum
pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut,
peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang
diancamkan terhadapan perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur bagaimana
cara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus
diperhatikan pada kesempatan itu.
Mr.
Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil sebagai
berikut :
a. Hukum pidana materiil adalah
kumpulan
aturan hukum
yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggaran
pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang yang dapat dihukum dan menetapkan
hukuman atas pelanggaran pidana.
b. Hukum pidana formil adalah kumpulan
aturan hukum yang mengaturcara mempertahankan hukum pidana materiil terhadap
pelanggaranyang dilakukan oleh orang-orang tertentu, atau dengan kata
lain,mengatur cara bagaimana hukuman pidana materiil diwujudkansehingga
diperoleh keputusan hakim serta mengatur caramelaksanakan keputusan
hakim(Marpaung, 2005).
Berdasarkan
pendapat diatas , hukum pidana materil berisi larangan atau perintah jika tidak
terpenuhi diancam sanksi, sedangkan
hukum pidana formil adalah
Tujuan
pemidanaan ini merupakan bagian yang sangat mendasar dan penting dalam
kehidupan hukum pidana di Indonesia bahkan diseluruh negara. Menurut Barda
Nawawi Arief tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana
tidak terlepas dari tujuan politik kriminal.
Dalam arti
keseluruhannya yaitu perlindungan masayarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oelh
karena itu untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, maka
tidak terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang ada (Muladi, 1995).
a. Teori absolut atau teori pembalasan
Menurut teori ini pidana diajtuhkan
semata-mata
karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan
akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalsan kepada orang yang telah
melakukan kejahatan. Adapun yang menjadi dasar pembenar dari penjatuhan pidana
itu terletak pada adanya kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana
mempunyai fungsi untuk menghilangkan kejahatan tersebut.
b. Teori
Relatif atau teori tujuan
Menurut teori ini penjatuhan pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan. Pembalsan itu
sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi
kepentingan masyarakat. Teori ini berbeda dari teori absolut, dasar pemikiran
agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai
tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak
berbahaya lagi, dibutuhkan proses
pembinaan sikap mental.
c. Teori gabungan
Selain teori absolut dan teori
relatif juga ada teori ketiga yang disebut teori gabungan. Teori ini muncul
sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab
mengenai tujuan dari pemidanaan.
Tujuan
pemidanaan dalam RUKHP dalam Pasal 54 yang menyatakan bahawa pemidanaan
bertujuan :
a. Mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
b. Memasyarakatkan
terpidana dengan megadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarkat; dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada
terpidana.
Pada hakikatnya pengertian
hakim yang tercantum dalam KUHAP, yang
menyebutkan hakim adalah pejabat
peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
Sedangkan yang
dimaksud dengan mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak
memihak di sidang pengadilan dlaam hal menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang (Pasal 1 ayat (9) KUHAP).
Putusan
pengadilan atau putusan hakim pada dasarnya memiliki 3 (tiga) macam putusan
yang akan diberikan kepada terdakwa di akhir persidangan, adapun jenis-jenis
putusan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Putusan bebas
Ini terjadi
jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, keslaahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan (Pasal 191 ayat (1)).
b. Putusan lepas dari segala tuntutan
Jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191
ayat (2)).
c. Putusan pemidanaan
Jika
pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat )
Aspek
“pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap pelaku tindak pidana yang
didakwakan” merupakan konteks penting dalam putusan hakim(Mulyadi, n.d.). Padaa
hakikatnya pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestendallen) dari suatu tindak pidana
apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak
pidana yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum.
Dapat diaktan lebih jauh bawa
pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh bersar
terhadap amar/doktrin putusan hakim.
Lazimnya, dalam praktik peradilan
pada putusan hakim sebelum
“pertimbangan-pertimbangan yuridis”
hakim akan menarik kesimpulan yang di dapat dari fakta-fakta di persidangan
melalui keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang
diajukan dan diperiksa dipersidangan(Mulyadi, n.d.).
Berikut
akan dijelaskan pertimbangan-pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dan Non
yuridis :
Pertimbangan
yang bersifat yuridis Pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor
yang terungkap dipersidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai
hal yang Harus dimuat dalam putusan,
pertimbangan yuiridis diantaranya :
a. Dakwaan jaksa penuntut umum;
b. Keterangan saksi;
c. Keterangan terdakwa;
d. Pasal-pasal dalam undang-undang yang
terkait.
2) Pertimbangan yang bersifat Non
yuridis Selain pertimbangan yuridis hakim juga menggunakan pertimbangan non
yuridis untuk menjadi dasar pertimbangannya :
a. Dampak dari perbuatan terdakwa.
b. Kondisi diri dari terdakwa.
Selain
pertimbangan-pertimbangan yuridis dan non yuridis yang telah disebutkan diatas,
terdapat hal yang meberatkan dan meringakan dalam hal penjatuhan pidana yang
diberikan oleh hakim kepada terdakwa hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
1) Hal-hal yang memberatkan pidana,
yaitu :
a. Meresahkan masyarkat;
b. Sifat dari perbuatan terdakwa itu
sendiri;
c. Akibat dari perbuatan yang
ditimbulkan dari perbuatan terdakwa;
d. Terdakwa sudah pernah dihukum.
2) Hal-hal yang meringankan pidana,
yaitu :
a. Belum pernah dihukum;
b. Menyesali perbuatannya;
c. Mengakui perbuatannya;
d. Bersikap sopan dipersidangan.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi hakim dalam pemidanaan
terhadap terdakwa, dikarenakan perundang-undangan pidana yang ada di indonesia
baik itu perundangan-undangan yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus
tidak mengatur secara tegas aturan batas minimum ancaman hukuman pidana bagi
pelaku tindak pidana. Tidak adanya batas minimum inilah yang
memberi keleluasaan hakim untuk
menjatuhkan pidana. Sehinggan hal ini sering menimbulkan perbedaan hukuman atau
sering disebut disparitas pidana.
Menurut Cheang
Molly (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998), disparity of sentencing atau
disparitas pidana, adalah penerpan
pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya
dapat diperbandingkan tanpa pembenaran yang jelas.
Sebagaimana
telah disebutkan didalam bab pendahuluan terdahulu bahwa dalam putusan perkara
pidana dikenal adanya suatu kesenjangan dalam penjatuhan pidana yang lebih
dikenal dengan disparitas. Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut
Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori
yaitu: a. Disparitas antara tindak pidana yang
sama;
b. Disparitas antara
tindak pidana yang mempunyain tinfkat keseriusan yang sama;
c. Disparitas pidana yang dijatuhkan
oleh satu majelis hakim;
d. Disparitas antara pidana yang
dijatuhkan oelh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang
Sama.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi
putusan hakim terdiri dari(Loqman,
2002):
a. faktor intern;
b. faktor pada undang-undang itu
sendiri;
c. faktor penafsiran;
d. faktor politik; dan
e. faktor sosial.
Disparitas
putusan dalam hal penjatuhan pidana diperbolehkan menurut pasal 12 huruf (a)
KUHP yang menyatakan pidana penjara serendah-rendahnya 1 (satu) hari dan
selama-lamanya seumur hidup. Disparitas pidana dapat diartikan sebagai
penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap
tindak-tindak pidana yang sifatnya berbahaya dapat diperbandingkan (offence of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas(Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005).
Faktor
yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak adanya pedoman
pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana.
Sudart
mengatakan bahwa pedoman pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam
menetapkan
pemidanaannya, setekah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan
yang didakwakan kepadanya(Sudarto, 1981).
Pedoman
pemberian pidana itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan
hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami
mengapa pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pendapat
Sudarto ini dibenarkan pula oleh
Muladi, karena masalahnya bukan
menghilangkan disparitas secara mutlak,
tetapi
disparitas tersebut harus rasional(Sudarto, 1981).
Faktor
penyebab terjadinya disparitas pidana dapat ditinjau dari segi teoritis yuridis
dan segi empiris. Dari segi teoritis yuridis, disparitas pidana disebabkan
adanya :
a.
Eksistensi kebebasan dan kemandirian
hakim dalam UUD RI 1945 Pengertian kekuasaan
kehakiman yang bebas dan mandiri berdasarkan bukun Pedeoman Perilaku Hakim (Code of Conduct) yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia
memuat serangkaian prinsip-prinsip dasar sebagai moralitas dan wajib dijunjung
tinggi oleh para hakim di Indonesia
baik
di dalam
maupun di luar kedinasannya(Mahkamah Agung RI, 2006).
b. UU Kekuasaan Kehakiman yang ada Asas
kebebasan hakim atau judicial discretionary power dijamin sepenuhnya dalam Pasal 1 UU No.48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman.
c. Teori Ratio Decidendi
Ratio Decidendi atau rationes decidenci adalah sebuah istilah latin yang sering
diterjemahkan secara harfiah sebagai alasan untuk keputusan itu. Black’s Law
Dictionary menyatakan ratio
decidendi sebagai “the point in a case
which determines the judgement”
atau menurut Barron’s Law Dictionary adalah
“the
principle which the case establishes.”(Huda, 2016)
d. Teori Dissenting Opinion
Dissenting Opinion menurut H.F Abraham Amos adalah perbedaan tentang amar putusan hukum dalam suatu
kasus tertentu, dalam masyarakat yang majemuk dan multi kultur, perbedaan
tentang pemahaman suatu hukum sudah menjadi hal yang biasa(“Pengertian Dan
Konsep Dissenting Opinion,” 2016).
e. Doktrin Res Judicate Pro Veritate Hebetur
Res Judicate Pro Veritate Hebetur, lazim disingkat Res Judicate
berasal dari bahasa Latin “Res ludicata”
yang berarti suatu yang telah diputuskan.
Black’s Law Dictionary, sixth
edition, merumuskan
res judicata sebagai: “A matter
adjudged; a thing judicially acted upon or decided; a thing or matter settled
by judgement. Rule that a final judgement renderd by a court of competent jurisdiction
on the merits is conclusive as to the rights of the parties and their privies,
an as to them, constitutes an absolute bar to a subsequent action involving the
same claim, demand or cause of action”.
(Black’s Law Dictionary, sixth edition,
merumuskan res judicata sebagai: “hal
ini diputuskan, hal yang secara hukum ditindaklanjuti atau memutuskan. Sebuah
hal atau masalah diselesaikan oleh penilaian. Aturan penilaian akhir yang
diberikan oleh pengadilan dengan yurisdiksi yang kompeten pada manfaat meyakinkan
mengenai hak-hak para pihak dan privat mereka, seperti mereka, yang merupakan
hak yang mutlak untuk bertindak berikutnya melibatkan klaim permintaan atau
penyebab tindakan.)
Dari
segi empiris, pertimbangan kedaan terdakwa meliputi kepribadian, keadaan
sosial, ekonomi, dan sikap masyarakat, serta dalam pembuktian fakta di
persidangan juga dapat mempengaruhi pertimbangan hakim. Hakim sendiri tidak boleh memutus dalam keragu-raguan dan berprinsip pada in dubio proreo, sehingga muncul suatu
disparitas pidana.
D. Penutup
1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
penelitian dan
pembahasan
pada bab terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa faktor-faktor yang
menjadi penyebab terjadinya disparitas dapat ditinjau dari segi teoritis
yuridis dan segi empiris. Dari segi teoritis yuridis, disparitas pidana
disebabkan adanya eksistensi kebebasan dan kemandirian yang dimiliki oleh hakim
dalam UUD RI 1945 serta UU Kekuasaan Kehakiman yang ada, teori ratio decidendi, teori dissenting opinion, dan doktrin res
judicate pro varitate hebeteur. Selain masalah yuridis yang disebutkan diatas faktor KUHP juga menjadi masalah dalam teoritis
yuridis, dikarenakan KUHP tidak mengatur tentang minimal khusus penjatuhan
pidana terhadap terdakwa. Dari segi empiris pertimbangan keadaan terdakwa
meliputi kepribadian, keadaan sosial, ekonomi, dan sikap masyarakat, serta
dalam pembuktian fakta di perisdangan juga dapat mempengaruhi pertimbangan
hakim. Hakim sendiri tidak boleh memutus dalam keragu-raguan dan berprinsip
pada in dubio proreo, sehingga muncul
suatu disparitas pidana.
Kebebasan
hakim juga merupakan faktor terjadinya disparitas pemidanaan. Di Indonesia asas
kebebasan hakim (judicial discretionary power) dijamin sepenuhnya dalam Pasal 1 UU No.48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dasar pertimbangan Hakim dalam penentuan
pengambilan putusan hingga menyebabkan adanya disparitas pemidanaan pada
perkara pidana, berdasarkan asas Nulla
Poena Sine Lege hakim hanya dapat
memutuskan sanksi pidana berdasarkan
jenis dan berat sanksi sesuai dengan takaran yang ditentukan oleh
Undang-Undang. Hambatan dan kesulitan lain yang ditemui hakim dalam menjatuhkan
putusan pengadilan adalah kurang
lengkapnya bukti materil yang diperlukan sebagai alat bukti dalam persidangan,
serta
proses pembuktian yang masih
menggunakan metode tradisional atau konvensional dimana metode penjatuhan
hukuman masih bertitik tolak pada keadaan pemeriksaan persidangan saja
dikarenakan penentuan berat dan ringannya hukuman terdakwa masih dilakukan
secara subjektif oleh hakim.
2.
Saran
Salah satu tugas hakim adalah
menggali
nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, oleh
karena itu hakim harus memperhatikan aspek disparitas penjatuhan pidana untuk
memenuhi nilai keadilan substantif,
serta dalam memutuskan suatu perkara sebaiknya hakim tidak hanya mendengarkan
korban saja, tetapi juga harus tetap mendengarkan pembelaan dari terdakwa dan
mempertimbangkannya agar
hakim dapat bersifat seadil mungkin,
dengan cara meninggalkan metode
penjatuhan pidana yang bersifat tradisional atau konvensional tersebut.
Hal tersebut
dapat dijadikan upaya untuk meminimalisir disparitas pemidanaan. Upaya untuk
meminimalisir hal tersebut, maka penggunaan logika hukum menjadi sebuah solusi,
yaitu dengan metode :
a. Merumuskan substansi
hukum secara tepat;
b. Memahami kesesatan
hukum (fallacies of law);
c. Pengunaan
penalaran induksi dan deduksi secara tepat;dan
d. Penemuan dan penerpaan hukum.
Bagaimanapun disapritas pidana tidak
dapat dihilangkan secara mutlak.
Diperlukan suatu pedoman bagi hakim untuk menentukan jenis pemidanaan yang
tepat untuk diajtuhkan kepada terdakwa, sehingga dengan adanya pedoman tersebut
dapat mengedepankan transparansi dan konsistensi dalam menjatuhkan sanksi
pidana sesuai dengan asas persumptive sentencing.
Borgata Hotel Casino & Spa - JTM Hub
ReplyDeleteBook 영주 출장샵 your 하남 출장마사지 stay 구리 출장샵 at Borgata Hotel Casino & Spa in Atlantic City, NJ with 여주 출장안마 JH Marriott.com. Featuring a 24-hour casino, 광주광역 출장마사지 a seasonal Olympic-sized pool, and